Revitalisasi Pendidikan Moral Untuk Menghilangkan
Kebiasaan Korupsi Para Pejabat Negara
Di era reformasi ini, di Indonesia, korupsi menjadi budaya di kalangan pejabat negara. Kebiasaan korupsi tersebut terus berakar sampai pejabat-pejabat desa. Korupsi di Indonesia sudah masuk kategori akut. Jumlah, sebaran, dan kualitas kasusnya semakin meningkat serta meluas ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Hasil survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia telah menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang belum lepas dari persoalan korupsi.
Bahkan beredasarkan data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong dan Transfarency Internasional – Jerman, ditengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi yang positif pada tahun 2009 silam, ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Itulah hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hongkong. Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.
Pada era global saat ini, semua negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Secara nyata pendidikan Indonesia masih rendah dibanding Negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Dahulu, Indonesia terkenal dengan kualitas pendidikan yang baik. Guru-guru yang berprestasi di bumi pertiwi ini, sering di kirim ke Negara lain khususnya Malaysia. Namun sekarang ini keadaan itu sudah berbalik, Indonesia tidak lagi mengirim guru ke Malaysia melainkan mengirimkan TKW dan TKI sebagai buruh dan pembantu di negara tetangga. Selain menambah devisa negara, pemerintah secara tidak langsung mengurangi masalah negara dengan mengurangi tingkat pengangguran. yang paling menyedihkan adalah anak-anak bangsa lebih memilih sekolah ke negara tetangga dan masyarakat Indonesia lebih mempercayakan pengobatan ke negara tetangga dibandingkan negara sendiri. Namun dibalik kegagalan kualitas pendidikan di Indonesia, ada salah satu prestasi yang dibilang terus mengalami peningkatan yakni tingkat korupsi. Jumlah koruptor di Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan dibanding dengan prestasi yang membanggakan Indonesia.
Secara nyata, yang melakukan korupsi di Indonesia bukanlah orang-orang yang tidak berpendidikan melinkan orang-orang yang mengemban jabatan tinggi dengan status pendidikan yang tidak rendah. Pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya pendidikan di perguruan tinggi melainkan juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah keatas walaupun sekarang ini sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) semuanya masih belum mencukupi biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan di Indonesia masih merupakan investasi yang mahal sehingga diperlukan perencanaan keuangan serta disiapkan dana pendidikan sejak dini. Setiap keluarga harus memiliki perencanaan terhadap keluarganya sehingga dengan adanya perencanaan keuangan sejak awal maka pendidikan yang diberikan pada anak akan terus sehingga anak tidak akan putus sekolah. Tanggung jawab orang tua sangatlah berat karena harus membiayai anak sejak dia lahir sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Lihat saja pada jenis pendidikan dengan “kategori” RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) ataupun SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Untuk bea masuk saja sudah harus merogoh kocek jutaan rupiah meskipun hanya di tingkatan sekolah dasar. Bisa dibayangkan berapa besar lagi beaya yang diperlukan jika sudah di tingkatan menengah pertama sampai perguruan tinggi.
Padahal jika kemudian kita telusuri lebih jauh, standar internasional tersebut mengacu pada standar yang mana, karena disetiap negara sudah tentu memiliki sistem pendidikan tersendiri. selain itu baik RSBI ataupun SBI jika standarnya sudah tidak jelas dengan output yang juga masih kabur-apakah yang diutamakan akhlak (yang menjadi penyebab korupsi) ataupun hanya sekadar pemenuhan kebutuhan negara kapitalis sendiripun masih dipertanyakan.
Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini dan banyaknya masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu peduli atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya, sehingga membuat anak putus sekolah, anak tersebut hanya mendapat pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah pertama atau sekolah menengah ke atas. Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian maka program tersebut tidak akan terealisasi.
Banyak anak yang putus sekolah karena orang tua tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya. Memang antara pendidikan yang mahal bukanlah satu-satunya indicator korupsi. Akantetapi hal tersebut sangat berkaitan sekali. Terutama sekali jika melihat reliatas masyarakat kita sekarang ini yang sudah terjebak pada dunia pencitraan. Masyarakat tak lagi memandang secara substansi, melainkan masyarakat kita meliahat secara formalis. Sehingga dengan membudayanya dunia citra ini, masyarakat akan terdorong untuk juga menjaga image atau citra yang nantinya bisa menjadikan salah satu penilaian bahwa mereka layak untuk diberi label kaum “borjuis”. Hubungan antara korupsi dengan dunia pendidikan yang tinggi tersebut sangat terbukti. Sampai saat ini saja, masih banyak masalah korupsi yang tidak dapat diselesaikan oleh negara, seperti masalah Bank Century dan berbagai macam kasus pajak yang merugikan negara hingga kasus suap yang melibatkan partai penguasa. Padahal dampak korupsi dapat menghacurkan suatu negara. Korupsi yang telah merajalela tersebut mempunyai dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Korupsi juga membawa dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi. sekali lagi, bukankah korupsi itu juga diakibatkan oleh adanya pola pendidikan yang salah yaitu tak mengutamakan kembali prinsip pendidikan moral dalam dunia pendidikan saat ini.
Berbagai kondisi krusial mengemuka sebagai penyebabnya, seperti terlalu menekankan pada aspek penegakan hukum, cenderung tebang pilih, terjadi pertikaian antara penegak hukum, menguatnya kronisme, pelemahan KPK, sebagian media dan masyarakat yang cenderung permisif. Energi pemberantasan korupsi seakan tidak berdaya menghadapi akumulasi maraknya berbagai praktik korupsi. Fenomena ini dianggap sudah biasa-lumrah dan ironisnya sebagian masyarakat menyebutkan perilaku korupsi dianggap sebagai budaya masyarakat.
Pencegahan korupsi sangat penting dilakukan karena korupsi merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia. Secara empiris, praktik korupsi telah merampas hak-hak ekonomi dan sosial warga negara ditandai dengan berkurangnya fungsi ekonomi dan sosial yang diberikan oleh negara atau swasta. Dampak itu antara lain tingginya berbagai kasus, peningkatan angka kemiskinan, kematian ibu dan anak, gizi buruk, minimnya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, serta berbagai kasus lainnya yang memiliki relasi dengan penderitaan masyarakat. Korupsi merupakan tantangan serius dalam pembangunan, merongrong demokrasi dan tata pemerintahan, mengurangi akuntabilitas dan representasi dalam kebijakan, menghambat penegakan hukum, menghasilkan ketidakadilan dalam penyediaan layanan, dan mengikis kapasitas kelembagaan pemerintah karena pengabaian prosedur. Sektor publik menekankan bahwa pemerintahan yang baik memerlukan standar tertinggi dalam integritas publik, keterbukaan, dan transparansi, serta sistem keadilan hukum. Program untuk menangani korupsi merupakan prasyarat bagi seluruh reformasi sektor publik, dan kemajuan dalam mengendalikan korupsi dianggap bukti kemauan dan komitmen terhadap good governance.
Manusia yang beradab setidak-tidaknya memiliki pendapat mengenai pendidikan bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pendidikan. Menurut Driyarkaya, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani harus diwujudkan di dalam upaya pendidikan. Disusul oleh pendapat G. Thompson yang menyatakan bahwa pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap di dalam kebiasaan-kebiasaan, pemikiran, sikap-sikap, dan tingkah laku. Sejalan dengan pandangan tersebut, Crow and Crow (1960) mengemukakan bahwa fungsi utama pendidikan adalah bimbingan terhadap individu dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga memperoleh kepuasan dalam seluruh aspek kehidupan pribadi dan sosialnya.
Pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan manusia dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. Pendidikan memiliki kekuatan yang sangat dinamis dalam kehidupan manusia di masa yang akan datang. Pendidikan dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal, yaitu pengembangan potensi individu setinggi-tingginya dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosiobudaya ketika hidup.
Pendidikan yang bersifat integratif memandang objek pendidikan sebagai makhluk yang dikaruniai berbagai potensi oleh Sang Penciptanya. Potensi yang dimiliki hanya dapat dikembangkan jika mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan masyarakat dan mewujudkan tata kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Itulah manusia yang berbudaya. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses kebudayaan dan proses kebudayaan adalah proses pendidikan. Memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia.
Merebaknya kebiasaan korupsi di kalangan pejabat negara dipicu oleh keadaan pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan dan sekolah selama ini terlalu mementingkan pendidikan yang tidak berkenaan dengan aspek moral. Dunia pendidikan lebih mengacu pada kecerdasan saja. Tidak mengherankan konstruksi pemikiran dan komitmen siswa tentang keberhasilan adalah sekadar dalam frasa pemahaman tentang “kesuksesan materi dan karier jabatan”. Hal ini diperparah dengan acara-acara seremoni reuni dan kunjungan alumni yang datang ke sekolah mengabarkan tentang kesuksesan dalam meniti jenjang profesi dan menggapai materi. Namun, tidak pernah ada kejujuran bahwa kesuksesan karier, profesi, dan tumpukan materi dihasilkan dengan cara yang jujur dan mematuhi etika yang berkeadilan.
Salah satu solusi untuk menghilangkan kebiasaan korupsi tersebut adalah dengan mengutamakan kembali pendidikan moral dalam pendidikan nasional. Pada era reformasi ini, pendidikan moral tidak lagi menjadi pendidikan yang diutamakan. Namun pada zaman dahulu pendidikan moral lebih ditekankan dalam dunia pendidikan sehingga negara bersih dari kebiasaan korupsi. Oleh karena itu, perlu dilakukan revitalisasi pendidikan moral dalam dunia pendidikan saat ini artinya menjadikan kembali pendidikan moral sebagai pendidikan yang diutamakan dalam dunia pendidikan. Pendidikan moral perlu menjadi prioritas kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu, lingkungan sosial dan kehidupan individu. Pendidikan moral akan melahirkan perilaku yang selaras dengan etika moral.
Perilaku moral berarti perilaku yang menyesuaikan dengan kode moral dari kelompok sosialnya. Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku yang anggota masyarakatnya berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakat, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal dalam menyesuaikan perilaku sesuai harapan dan tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial. Pendidikan unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari keleompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-anak. Ketika masih kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata karma dari suatu kelompok. Begitu anak memasuki usia remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya.
Tingkah laku yang sesuai aturan tidak hanya sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara suka rela. Hal ini terjadi dari otoritas eksternal maupun internal. Dalam perkembangan moralnya kelak anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah. Begitu anak bertambah besar, ia juga harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai (Philip H Phenix : 1964). Yang penting di sini ialah bahwa pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.
Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai (Philip H Phenix : 1964). Yang penting di sini ialah bahwa pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.
Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan “kelas kejujuran” di mana siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa pengawasan guru. Jika hal ini menjadi kesadaran kolektif, kita niscaya tidak akan mendengar lagi “perburuan bocoran kunci jawaban” di setiap ujian nasional (UN) dan dalam jangka panjang dapat membangun karakter moral yang kuat.
Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala-surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan agama adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang (amoral). Hal ini tentu saja sangat penting bagi pondasi pembangunan bangsa di masa depan. Ketika karakter dan moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan seperti kebiasaan korupsi di kalangan pejabat negara.
REFERENSI
Sumber buku :
Mikarsa, Hera Lestari dkk. 2007. Pendidikan Anak Di SD. Jakarta : Universitas Terbuka.
Sumber internet
0 komentar:
Posting Komentar