Kamis, 12 Januari 2012

Fungsi Revitalisasi Pendidikan Moral


Revitalisasi Pendidikan Moral Untuk Mempertahankan
Harkat Martabat Anak

Sebagai makhluk Tuhan, setiap manusia mempunyai harkat dan martabat yang tinggi. Harkat dan martabat sangat ditentukan oleh hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Manusia mempunyai hak-hak yang harus dihargai satu sama lainnya. Hak-hak tersebut dibutuhkan manusia untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia tanpa adanya pelanggaran terhadap hak-hak tersebut. Banyak orang yang menyebut hak-hak tersebut sebagai hak asasi manusia. Dengan menggunakan hak asasi manusia tersebut, setiap orang wajib untuk menghormati, memperhatikan dan menghargai hak asasi yang dimiliki sesamanya.
Di Indonesia, saling menghargai hak asasi manusia telah membudaya sejak dulu. Zaman dahulu, pendidikan moral sangat kental dalam pendidikan. Pendidikan moral dijadikan sebagai alat vital dalam sistem pendidikan di Indonesia saat itu. Namun pada era reformasi ini, hal tersebut seakan hilang dimakan zaman. Perkembangan zaman telah mempengaruhi pikiran manusia. Banyak orang yang tak sadar dengan hak asasi manusia. Akibatnya, setiap bulan bahkan setiap harinya, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Parahnya lagi, pelanggaran tersebut menimpa anak-anak Indonesia. Di Indonesia banyak kasus pelanggaran yang melibatkan anak-anak di antaranya, kasus kekerasan anak, perdagangan anak, bunuh diri, pembunuhan bahkan tindak asusila terhadap anak. Padahal anak merupakan generasi muda yang harus dididik menjadi orang sukses dan memiliki moral baik.
Anak juga merupakan amanah dan nikmat luar biasa yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa sehingga harus senantiasa dijaga karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan akhlak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan cikal bakal sumber daya manusia dari suatu bangsa dan merupakan unsur utama dalam proses pembangunan. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam upaya mencapai sasaran pembangunan, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan potensi anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi serta hak untuk memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Proses pertumbuhan dan perkembangan anak di tengah keluarganya, sangat berkaitan dengan berbagai faktor yang saling melengkapi satu sama lain. Semuanya itu, sekaligus menjadikan anak mampu berinteraksi dengan hal-hal di luar dirinya. Interaksi itu ditambah dengan bimbingan serta perhatian utuh dari orang tua menghasilkan berbagai perubahan, pertumbuhan, perkembangan pada anak, menyangkut fisik, psikis, sosial, rohani, intelektual, paradigma, cara pandang, dan lain-lain.
Seiring dengan itu, seringkali terjadi benturan-benturan ketika anak berhadapan dengan ayah-ibu mereka serta orang dewasa lainya. Dan tidak menutup kemungkinan, dampak dari benturan-benturan itu adalah berbagai bentuk perlakuan orang dewasa kepada anak. Hal itu terjadi karena orang dewasa menganggap anak telah melawannya, bandel, tidak mau dengar-dengaran, keras kepala, serta telah melakukan banyak tindakan perlawanan terhadap orang yang lebih tua. Tindakan-tindakan dalam rangka upaya pendisiplinan, menuntut kataatan tersebutlah yang menjadikan orang tua memperlakukan anak-anak mereka secara fisik dan psikologis, sehingga berakibat penderitaan, tidak berdaya, bahkan kematian.
Anak yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya mengalami ketakutan dan trauma pada dirinya. Ketakutan dan trauma tersebut menghantar mereka lari dari rumah dan lingkungannya. Tidak sedikit dari antara mereka yang akhirnya menjadi anak-anak terlantar, bahkan jadi bagian dari kelompok penjahat dan pelaku tindak kriminal lainnya.
Bentuk lain dari kekerasan anak-anak adalah perdagangan anak-anak. Perdagangan anak merupakan transaksi jual-beli yang menjadikan anak sebagai objek jual. Transaksi itu dilakukan oleh atau melalui pengantara ataupun orang tuanya sendiri. Pada sikon ini, anak-anak dihargai dengan sejumlah uang atau alat ekonomi untuk mendapat keuntungan. Para pembelinya adalah keluarga-keluarga yang tidak mempunyai anak dan tidak mau berurusan dengan kerumitan persyaratan administrasi adopsi. Berdasarkan survei yang telah dilakukan, dapat disipulkan bahawa banyak contoh kasus pelanggaran hak yang terjadi pada anak di Indonesia, antara lain :
· bayi dan anak yang kelahirannya tidak diinginkan oleh ayah-ibunya, biasanya akibat tindakan-tindakan seks bebas dan seks pra-nikah.
· anak-anak perempuan usia pra-remaja dan remaja putri, yang diculik, disekap, kemudian dijual, dan dipaksa sebagai pekerja seksual, di daerah yang jauh dari tempat asalnya, ada juga anak-anak dari keluarga-keluarga miskin kota dan desa, diculik oleh para bandit dan preman untuk dijadikan pengemis.
· orang tua menjual anak kandungnya sendiri, usia 0 - 5 tahun, karena kesulitan ekonomi pada banyak kasus, orang tua dari keluarga miskin menjual bayi ataupun anak-anaknya, agar mereka terbebas dari kesulitan ekonomi.
· anak-anak yang dicuri atau diculik oleh para penjahat terhadap anak-anak, korban penculikan tersebut diperjualbelikan terutama kepada keluarga yang kesulitan mempunyai anak kandung.
Anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi merupakan kenyataan yang masih banyak terjadi di masyarakat Indonesia. Anak sebagai manusia hidup dan belajar memanusiakan dirinya. Anak bercita-cita, berpikir, dan menimbang-nimbang dalam proses mendewasakan dirinya. Anak hidup di dalam dan bersama sosio-politik, sosio-ekonomi, dan sosio-budaya masyarakat, di samping lingkungan alamnya. Manusia mencapai kesadaran tentang jati dirinya, hukum alam, Tuhan berikut perintah dan larangan-Nya. Anak mempunyai peluang dan keterbatasan untuk berkembang mencapai derajat kemanusiaannya yang tertinggi.
Anak juga belajar dan mempunyai aspirasinya sendiri tentang sistem kepercayaan dan nilai yang ditransformasikan menjadi rujukan dan kaidah hidupnya. Anak merasakan berbagai kebutuhan hidupnya. Anak selalu mempunyai kebutuhan jasmani, mental, dan spiritual, yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, harga diri, dan aktualisasi diri. Anak membutuhkan kekayaan sekaligus kesejahteraan. Anak membutuhkan keamanan dan kekuasaan, sekaligus kejujuran dan keadilan. Anak belajar untuk memperluas wawasan, motivasi, berbagai kemampuan, keahlian teknologi, dan keterampilan cara-cara bekerja.
Anak menggunakan daya cipta, kecerdasan rasional, kecerdasan emosional, dan keahlian pragmatik dalam melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, anak juga mempunyai hak yang harus dipenuhi negara yaitu untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi anak. Pendidikan sangat mempengaruhi tingkah laku, kecerdasan intelektual, dan pola pikir anak.
Menurut Driyarkaya, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani harus diwujudkan di dalam upaya pendidikan. Disusul oleh pendapat G. Thompson yang menyatakan bahwa pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap di dalam kebiasaan-kebiasaan, pemikiran, sikap-sikap, dan tingkah laku. Sejalan dengan pandangan tersebut, Crow and Crow (1960) mengemukakan bahwa fungsi utama pendidikan adalah bimbingan terhadap individu dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga memperoleh kepuasan dalam seluruh aspek kehidupan pribadi dan sosialnya.
Pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan manusia dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. Pendidikan memiliki kekuatan yang sangat dinamis dalam kehidupan manusia di masa yang akan datang. Pendidikan dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal, yaitu pengembangan potensi individu setinggi-tingginya dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosiobudaya ketika hidup.
Pendidikan yang bersifat integratif memandang objek pendidikan sebagai makhluk yang dikaruniai berbagai potensi oleh Sang Penciptanya. Potensi yang dimiliki hanya dapat dikembangkan jika mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan masyarakat dan mewujudkan tata kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Itulah manusia yang berbudaya. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses kebudayaan dan proses kebudayaan adalah proses pendidikan. Memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia. Seperti halnya pelanggaran yang melibatkan anak. Pelanggaran hak asasi anak tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang lain, tetapi juga oleh korban dari pelanggaran tersebut. Misalnya kekerasan terhadap anak-anak.
Kekerasan terhadap anak-anak adalah perilaku yang bersifat tindak penganiayaan yang dilakukan orang yang tak bertanggung jawab terhadap anak-anak (sepanjang mereka masih berstatus anak secara hukum). Hampir semua anak dilahirkan karena keinginan ayah-ibunya . Walaupun ada penyebutan anak di luar nikah, lebih bermakna anak yang dilahirkan sebelum sang ibu menikah sedangkan perbuatan yang menjadikan anak itu ada, merupakan tindakan yang penuh kesadaran. Selain itu yang menjadi pelanggaran hak asasi, misalnya kasus bunuh diri seorang siswa SMA yang terjadi beberapa tahun yang lalu.
Dalam sebuah koran Priangan (edisi 3-5 September 2005) diberitakan ada seorang siswa SMA di Malangbong, Syamsi Effendi bunuh diri sepulang sekolah di kamarnya sendiri. Peristiwa itu terjadi hari Rabu 31 Agustus 2005 pukul 14.00. Peristiwa bunuh diri tersebut diketahui oleh ibunya sendiri. Ibunya tidak menyangka peristiwa itu akan terjadi padahal dia dikenal baik oleh masyarakat sekitar dan teman-temannya sendiri. Syamsi dikenal sebagai anak yang patuh pada orang tua dan cerdas di sekolahnya.
Kemudian kasus pencurian sandal jepit milik seorang polisi. Kasus tersebut dilakukan oleh seorang anak SMK di Palu, Sulawesi Tengah. Anak tersebut diancam hukuman penjara selama lima tahun. Bila dibandingkan dengan hukuman bagi para koruptor, terlihat rasa tidak adil terhadap anak itu. Ketidakadilan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi anak. Anak mempunyai hak untuk diberi keadilan di depan hukum.
Dari kedua kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa moral sebagian besar warga Indonesia saat ini sangat buruk. Bila dibandingkan dengan zaman dahulu, moral pada zaman sekarang sangat ambruk. Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan zaman dahulu di Indonesia lebih mengutamakan pendidikan moral. Namun zaman sekarang, pendidikan moral tak lagi dijadikan sebagai pendidikan yang diutamakan sehingga kehidupan negara Indonesia dipenuhi oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi anak. Oleh karena itu, untuk menghilangkan pelanggaran-pelanggaran tersebut di masa yang akan datang, diperlukan adanya revitalisasi pendidikan moral dalam sistem pendidikan negara Indonesia artinya menjadikan kembali pendidikan moral sebagai pendidikan yang diutamakan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan moral merupakan suatu usaha sadar untuk mendidik seseorang menjadi manusia yang memiliki moral baik dan selalu menghargai hak yang dimiliki oleh sesamanya. Pendidikan moral juga dapat diartikan sebagai usaha untuk melahirkan perilaku-perilaku yang selaras dengan etika-etika moral. . Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku yang anggota masyarakatnya berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakat, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal dalam menyesuaikan perilaku sesuai harapan dan tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial. Pendidikan unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari keleompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-anak. Ketika masih kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata karma dari suatu kelompok. Begitu anak memasuki usia remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya.
Tingkah laku yang sesuai aturan tidak hanya sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara suka rela. Hal ini terjadi dari otoritas eksternal maupun internal. Dalam perkembangan moralnya kelak anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah. Begitu anak bertambah besar, ia juga harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Pendidikan moral sangat mempengaruhi moral setiap anak. Pendidikan moral bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat anak. Pendidikan moral mendidik kepada anak untuk selalu berperilaku sesuai etika-etika moral yang baik. Pendidikan moral sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Dalam pelaksanaan program pendidikan dapat digunakan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang berkembang. Sesuai dengan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup bangsa, pendekatan yang paling sesuai digunakan di Indonesia adalah pendekatan penanaman nilai.
Tujuan pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti bagi anak adalah mewujudkan anak sebagai warga negara Indonesia yang baik serta anak yang cerdas pikiran dan cerdas perilaku. Menjadikan seluruh warga negara Indonesia (terutama anak) sadar dengan hakikat, martabat, dan kodratnya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta sadar dengan sifat dasar, potensi dasar, serta hak dan kewajiban asasi yang dimiliki. Untuk meraih pendidikan moral anak tersebut perlu disertai dengan upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan, dan pengondisian terhadap anak, serta berbagai upaya yang bersinergi dari berbagai pihak untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang kondusif dan mempertahankan harkat martabat anak.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
Makmun, Abin Syamsudin. 1996. Psikologi Kependidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Mikarsa, Hera Lestari dkk. 2007. Pendidikan Anak Di SD. Jakarta : Universitas Terbuka.
Sumber internet :

0 komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda tentang blog ini?

Total Tayangan Halaman